Rabu, 18 Juni 2008

Gilaaaaaaaaa......

Sudah 2 minggu ini rAsanya aku ketiban durian runtuh!!!!
bUkannya aku pEdagang durian,atw lg iseng mAnjat pohon dUrian tEtangga sebelah.
tapi gra2 yg pRtama aku kTrima PMDK di UNAIR.Mungkin bwt kAlian tu hal biasa tp klo liat aku psti kaLian tRkejut,kRn y ku tu sBnarnya cm iseng ikut tes tu.diAjakin tMan2ku mNGkin pkran mReka klo ngajak aku mReka bkal dpat saingan yg pling cEmen dBnding lAinnya.emang sich,pRtamanya saat tes tu dlAksanakan hRapan mReka hmpir tR kabul,pAsalnya aku g tw blas tNtang soal2 yg diujikan.istilah kAsarnya g pRnah kEnal lah!!!mang sich te2p kukerjakan tp g dsangka wktunya cpet bngt,dr soal 50 ku msh jwab 20an soal tu pun asal2an,kRtas soalpun udh dtArik lg.alhasil 30 soal sisa aku kRjain dngn ilmu kbtinan yg udh kulatih 5thn tErakhir dDunia pEndidikan (SMP -SMA)!!!!!
Tp sUmpahh klo nGepet,tuyul,gRandong bnRan aku g bs,jd klo uang kalian khilangan uang jngn slahin aku y??...
Dan akhirnya saat yg dNantikanpun tb,PENGUMUMAN!!!!jeng...jeng..jeng
SELAMAT saudara dtRima.tu lah kUtipan pEsan yg akubaca,pEngen tw klanjutannya tNya aja lNGsung ke aku ntar klo ktemu.dan akupun tErkerjut liat tu,yg lEbih pArah tMenku sTelah dEngar & nGeliat sNdiri.Ada yg kRingatan,jErit2,sMpe pingsan ...eEHH g ding tRnyata tu ibu2 lg antre MITAN!!!!!tp bner tMen2 aku pd kAget smUanya,aplgi mReka yg ajakin aku.dy mRah2 lntAran g ad yg dTrima....
EHhhm ntar aj y ku lAnjutin Postingku lg,ku bkal cRitain lAnjutannya ma hAsil nilai UNAS ku yg g kalah mEnggemparkan.Dan kEjutan dRi duNia pEndidikan,pOlitik,atw kHidupan pEmbantu sExy dr pAndangan JERENG si blo'on ni.kRn ku ni lg dWarnet nt Mahal,aku lNjutin dRumah aj y!!!!!....

Selasa, 15 April 2008

Kelaparan & gizi buruk

HIDUP merupakan hak dasar yang dijamin oleh negara! Demikian pula dengan pemenuhan kebutuhan atas makan dan gizi yang menopang keberlanjutan hidup warganya.

Nyatanya? Bagi rakyat Indonesia jaminan itu seakan ilusi. Jaminan yang teramanat dalam pasal 28 UUD 1945 itu tidak cukup sakti meniadakan kasus kelaparan di negeri ini. Bahkan, kasus kematian akibat gizi buruk dan kelaparan terus menggejala di masyarakat.

Kasus teranyar yang cukup menghentak tanah air adalah kasus kematian ibu dan anak di Makassar, Sulawesi Selatan akhir bulan lalu. Ny Basse (27) yang tengah hamil tujuh bulan dan anaknya Bahir (5) tewas mengenaskan setelah tiga hari tidak makan dan menderita diare akut.

Kisah pilu keluarga Basse itu bukanlah kasus yang pertama dan diyakini bukan pula yang terakhir. Kasus itu hanyalah segelintir dari 4,1 juta kasus gizi buruk tergres yang diungkap Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari.

Angka 4,1 juta sungguh angka yang cukup fantastis untuk ukuran negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, negeri yang katanya subur dan kaya sumber daya pangan.

Kondisi ini membuktikan betapa lemahnya manajemen ketahanan pangan Indonesia. Membuktikan, kasus gizi buruk dan kelaparan bukan semata akibat kekurangan bahan pangan, melainkan akses pangan yang rendah.

Bisa ditebak, kemiskinan selalu menjadi tersangka utama penyebab lemahnya daya beli pangan itu. Tidak mengherankan jika hampir seluruh pengidap malnutrisi itu adalah kalangan miskin. Mereka yang hidup tanpa perlindungan dan jaminan negara.

Ironis memang! Di tengah fenomena memilukan itu, korupsi justru semakin merajalela. Sementara utang negara kian menggunung, harga kebutuhan pokok terus meroket, pendidikan dan kesehatan kian mahal.

Kasus-kasus kelaparan dan gizi buruk itu telah menunjukkan bagaimana pemerintah gagal melaksanakan amanat konstitusi. Bagaimanapun, pengabaian hak-hak hidup rakyat sama saja telah mereduksi kualitas sumber daya manusia.

Pemerintah harus terus melakukan koreksi total atas kegagalan kebijakan pangan dan gizi rakyatnya. Jika tidak, masa depan bangsa menjadi taruhannya! (pie)http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/03/10/59/90443/kelaparan-dan-gizi-buruk

Senin, 24 September 2007

Chairil Anwar


Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentan

http://penyair.wordpress.com/2007/02/05/biografi-chairil-anwar-1922-1949/gan dengan dunia Chairil Anwar.”

Selasa, 28 Agustus 2007



SoErAbAjA hEroik city


Di sebuah sudut kota Surabaya, di ruang kecil seukuran kamar tidur, Bung Tomo duduk di depan sebuah meja kecil. Di depannya, tersorong sebuah mikropon. Tangannya memegang beberapa helai kertas yang sudah dicoreti oleh potlot.

Dari memoar yang ia tuliskan sendiri, kita simak apa yang berkecamuk di kepala anak muda bertubuh ramping mungil ini.

“Pidatoku mulai kubaca. Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di mukaku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap, menghadapi bahaya yang mendatang…. Tak dapat kulukiskan betapa gembiraku, ketika selesai aku membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi mukaku…. Aku mendengar beberapa orang di antara mereka itu berkata: “Tidak berbeda dengan Bung Karno’.”

Titimangsa ketika itu menunjuk 14 Oktober 1945. Dan dentang pukul terlihat berhenti di angka 19.30 malam. Itulah saat untuk pertama kali Bung Tomo berbicara di corong Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Dan itulah kali pertama Radio Pemberontakan tersebut mengudara.

Radio itu didirikan atas inisiatif Bung Tomo. Kisahnya berawal dari kepergian Bung Tomo ke Jakarta pada awal Oktober. Dalam statusnya sebagai wartawan Antara dan Biro Penerangan Komite Nasional Indonesia Daerah Surabaya, Bung Tomo bertemu dengan pemimpin-pemimpin republik, menceritakan bagaimana di Surabaya arek-arek tak pernah membiarkan sekali pun bendera Belanda berkibar sekenanya, dan juga mengusulkan agar didirikan sebuah siaran radio untuk membakar dan menjaga semangat rakyat, sebagai penyeimbang atas siasat diplomasi pemerintah. Dan radio itu, kata Bung Tomo, sifatnya klandestin dan di luar tanggungjawab pemerintah.

Dari situlah Radio Pemberontakan itu lahir. Dari corong radio tersebut, pidato-pidato dengan menggunakan pelbagai bahasa asing dan bahasa daerah disiarkan. Lagu-lagu perjuangan didendangkan.

Sehari menjelang pertempuran 10 November, radio ini pula yang menyerukan segenap arek-arek Surabaya untuk memertahankan Surabaya dengan apa pun alat dan cara yang dimungkinkan dan jika perlu membumihanguskan Surabaya sendiri jika dirasa Sekutu sudah terang akan berhasil merebut Surabaya.

Pidato-pidato Bung Tomo yang membakar, suaranya yang menggelegar dan kemampuannya memilah yel-yel, membuat tak ada orang Surabaya yang tak mengenal suaranya. Orang tak akan lupa pada seruan di setiap pembukaan orasinya: "Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!"

Sepintas ia tampak gagah dan berkarakter keras. Tapi sesungguhnya dia seorang yang lembut. Kelembutannya, sekaligus rasa frustasinya menyaksikan ulah para politisi Indonesia, tercermin dalam salah satu surat cinta yang ia tulis untuk istrinya pada sekitar awal tahun 1950-an:

“Pagi ini begitu besar kangenku, sehingga ingin saya menulis kemari. Aku saiki dadi politikus tenan. Aku rapat sedino nganti ping pitu. Ibu pertiwi seakan-akan tersenyum di hadapan mataku! Doakan untuk kakandamu, sayang! Agar aku selalu dapat kekuatan. Hanya di waktu malam sebelum tidur, saya selalu merasakan adanya kekosongan! Saya tak mempunyai seorang di sampingku yang dapat melihat air mataku bercucuran, saya menjadi jengkel karena egoisme yang begitu besar dari beberapa orang yang mengaku pemimpin. Sampai ketemu sayang. Veel liefs van je... Tomo (Salam mesra dari Tomo).”

Bung Tomo yang keras hati, yang lembut dan yang idealis, bercampur lebur dalam surat cintanya yang pendek pada istrinya itu. Di pengujung pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Bung Tomo kembali muncul ke permukaan. Namun, di awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Pada 11 April 1978 ia ditahan. Ia baru dilepaskan setahun kemudian.

Pada 7 Oktober 1981, ia meninggal dunia di Mekkah saat sedang menunaikan haji. Jenazahnya dibawa ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.

Ikon Revolusi Indonesia
Pada 17 Agustus, sekitar tahun 1978 atau 1979, berlangsung sebuah upacara kecil nan khidmat memeringati kemerdekaan RI di sebuah penjara di Jakarta. Persis ketika sang saka merah putih dikerek ke udara dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan, salah seorang tahanan yang sudah cukup renta tampak menangis.

Ismail Suny, orang yang kini dikenal sebagai pakar hukum tata negara, yang dibui karena berseberangan pendapat dengan Soeharto, mendekati lelaki tua yang masih tampak gagah itu. Dengan setengah berbisik, Suny berkata: "Mengapa Bung menangis? Biasa sajalah."

Suny tak berhenti sampai di situ. Ia melanjutkan ucapannya dengan mengutip sekuplet kata-kata kepunyaan Ho Chi Min: “Dari penjaralah justru muncul orang-orang besar.”
Ho Chi Minh mungkin benar. Dan seandainya Suny berbicara dengan seorang aktivis muda berusia dua puluhan yang dijebloskan ke penjara karena berunjukrasa, kata-kata Ho Chi Minh yang ia kutipkan mungkin bisa menginjeksi nyali dan denyut nadi perlawanan aktivis itu.

Tapi Suny tak tak berbicara dengan seorang anak muda. Dia berbicara dengan seorang lelaki yang usianya sudah melewati separuh abad, yang dijelujur riwayat hidupnya dipenuhi kisah-kisah heroik perjuangan, seorang lelaki yang pada satu masa pernah memompa semangat dan nyali penduduk seantero kota dengan pidato-pidatonya yang membakar.

Suny sedang berbicara dengan Bung Tomo.
Bung Tomo hadir di penjara bukan sebagai inspektur upacara yang dimintai wejangannya. Bung Tomo mengikuti upacara peringatan kemerdekaan RI di penjara, menatap dikereknya bendera merah putih ke udara di penjara, dalam status sebagai tahanan politik.

Kita tak pernah tahu kenapa Bung Tomo menangis. Yang kita tahu, tiap kali kita mengenang nasib orang-orang yang berjuang memertahankan proklamasi di saat-saatnya yangg tergenting, atau jauh ke belakang lagi, mengenang orang-orang yang pasa masa kolonial Belanda keluar masuk penjara untuk menggerakkan kesadaran rakyat, kita seakan sedang menemukan sebuah kitab yang isinya melulu tragika hidup: riwayat-riwayat hebat yang di ujung hidupnya, atau setidaknya pada penggal tertentu hidupnya, harus menerima rentetan kekecewaan hidup. Mungkin juga kegagalan hidup.

Kita tak bisa mengerti, bagaimana orang macam Bung Tomo bisa dipenjarakan. Membahayakan pemerintah? Apa mungkin dia membahayakan negara yang dulu ia perjuangkan dengan semua kenekatan dan keberaniannya yang legendaris itu?

Jika kita berbicara tentang kisah-kisah heroik perlawanan terhadap upaya Belanda menduduki Indonesia pasca proklamasi 1945, nyaris mustahil kita tak menyebut Bung Tomo. Dalam soal perlawanan langsung di medan tempur yang riil, si bung yang satu ini, melampaui “tiga bung” paling masyhur dalam sejarah Indonesia: apakah itu Bung Karno, Bung Hatta atau pun Bung Sjahrir.

“Menjaga Bung Karno, Menjaga Bung Hatta, Menjaga Bung Sjahrir,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal, Krawang-Bekasi.

Bung Tomo tak ada di sajak itu. Chairil bukannya lupa dan tak tahu siapa Bung Tomo. Chairil justru sangat tahu, Bung Tomo tak perlu dijaga. Juga tak perlu dikawal. Bagaimana pula mengawal seorang pemimpin perang yang hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat, dari satu fornt ke front lain dengan kilat?

Jika Che Guevara adhttp://indexpress.net/index122/index.php?option=com_content&task=view&id=34&Itemid=38alah ikon revolusi dunia, Bung Tomo adalah ikon revolusi Indonesia.

Sabtu, 18 Agustus 2007

Puisi Tak Ternila Namun Berharga


Jika Qta saat ini..
yakin untuk menanti..
aq akan terus menanti untuk menepati janji...
meski kadang harapan tak akan seindah kenyataan...
aq masih akan terus berharap
karena setengah jiwaku terisi dengan ruH Cintamu...
ingatkan aQ...
apabila q terlalu lelah untuk melangkah
ingatkan tentang kumbang yang menghampiri bunganya..
ingatkan semua tentang itu
karena sampai kapan pun..
aQ tak pernah ingin kehilangan setengah jiwaku...

Veel liefts Van Jee...{Stupied freak]


biAr waktu berjalan..
bukan alasan tuk mengakui keterlambatan
seberkas cahaya..
akan hilang bila Qta tak mencarinya
karena tak ada bunga yang menghampiri kumbangnya
tlah lama janji terpatui
bUkan kegigihan yang dicari untuk menanti
tapi ketulusan dalam menjalani hari
bersama janji